Wednesday 29 July 2015

10 (+ 4) Bahasa Daerah Indonesia yang Sudah Resmi (dan Akan) Punah

Dalam kurun waktu seabad belakangan ini, banyak bahasa daerah dari berbagai belahan dunia yang punah. Kepunahan ini terjadi karena sedikitnya pengguna bahasa ini, dan tidak adanya usaha untuk mempertahankan bahasa tersebut, sehingga lambat-laun bahasa tersebut tidak digunakan lagi, dan punah.

Di Indonesia sendiri hingga hari ini tercatat sudah 10 bahasa daerah yang resmi dinyatakan punah. Empat tambahan bahasa daerah lain sepertinya akan menyusul dalam waktu dekat dikarenakan penggunanya hanya tinggal segelintir orang, bahkan ada 1 bahasa daerah yang penggunanya tinggal 1 orang saja.

Berikut ini adalah ke 10 (dengan tambahan 4) bahasa daerah Indonesia yang dinyatakan hampir dan sudah punah :

1. HOTI
Bahasa Hoti merupakan salah satu bahasa daerah yang digunakan masyarakat Pulau Seram (sebelah utara Pulau Ambon, Provinsi Maluku). Menurut Encyclopedia of the World's Endangered Languages yang ditulis Christopher Moseley, bahasa ini merupakan turunan dari bahasa suku-suku yang tinggal di perbatasan Amazon dan Bolivar, sebelah utara San Juan de Manapiare, sekitar Sungai Asita, Kaima, Cuchivero, dan Parucito.

Meski diyakini sebagai salah satu bahasa daerah tertua di Indonesia, bahasa Hoti baru dikenal masyarakat dunia pada tahun 1961. Sebuah sumber menyebutkan hanya tersisa 10 orang saja saja yang mengerti bahasa ini. Bahasa tersebut tercatat terakhir kali digunakan secara umum pada tahun 1987 oleh Tetua Adat dalam upacara adat di sebuah desa di Pulau Seram. Setelah itu, tidak pernah ada lagi catatan maupun indikasi keberadaan pengguna bahasa tersebut.



2. HUKUMINA
Merupakan salah satu bahasa daerah masyarakat Hukumina yang tinggal di Pulau Buru di masa lalu. Bahasa daerah ini diklasifikasikan sebagai bagian dari bahasa Austronesia dan Malayo-Polynesia. Bahasa Hukumina dikenal juga dengan sebutan Bahasa Bambaa dan diyakini sudah tidak digunakan lagi oleh masyarakat Pulau Buru sejak banyaknya imigran dari Pulau Buton yang pindah ke Pulau Buru. Imigrasi itu membuat banyak penduduk kemudian menggunakan Bahasa Buton sebagai bahasa percakapan sehari-hari, sehingga Bahasa Hukumina tersisih dan pada akhirnya tidak digunakan lagi.



3. HULUNG
Bahasa daerah ini digunakan oleh masyarakat Desa Hulung, Sauweli, Propinsi Maluku. Berdasarkan Leksikal, bahasa ini memiliki kemiripan dengan bahasa daerah Lisabata-Nuniali, Naka'ela, Alune, dan Wemale. Penggunaan bahasa daerah ini terakhir kali terdokumentasi pada tahun 1991 dan diperkirakan hanya 10 orang yang menggunakannya (Wurm, 2007). Namun kini sudah tidak ditemukan lagi ada orang yang menggunakan bahasa tersebut, sehingga kini bahasa daerah Hulung dinyatakan punah.



4. SERUA
Bahasa daerah ini adalah bahasa daerah yang hanya digunakan oleh penduduk yang tinggal di Pulau Serua yang terletak di Maluku. Saat terjadi erupsi Gunung Serua di tahun 1921, masyarakat Serua keluar dari pulau itu dan sebagian menetap di Pulau Seram. Masyarakat Pedesaan Waipia, sebelah Utara Masohi (bagian tengah Pulau Seram) merupakan keturunan masyarakat Pulau Serua dan pengguna bahasa Serua tersebut.

Bahasa daerah ini masuk klasifikasi sebagai bagian dari bahasa Austronesia, Malayo-Polynesia, Timor-Babar, Teun-Nila-Serua, Nila-Serua, dan Maluku Tenggara. Bahasa ini memiliki dialek yang mirip dengan dialek bahasa Nila dan Teun.

Meski diyakini masih aktif digunakan, namun sudah sangat sulit untuk menemukan masyarakat Serua maupun Waipia yang berkomunikasi menggunakan bahasa ini, sehingga bahasa ini pun dianggap sudah punah.



5. TE'UN
Bahasa daerah Te'un merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Pulau Teun yang terletak di Maluku, Indonesia.

Pada tahun 1990-an, terjadi aktivitas vulkanik yang membahayakan masyarakat pulau tersebut, sehingga pemerintah merelokasi penduduk ke Pulau Seram dan sekitarnya. Karena relokasi tersebut, maka terjadi asimilasi masyarakat Te'un dengan masyarakat pulau sekitar, yang membuat masyarakat tersebut menggunakan bahasa Ambon. Penggunaan bahasa Te'un lambat-laun terlupakan dan tidak digunakan lagi hingga hari ini.



6.LOUN
Merupakan salah satu bahasa daerah tua yang digunakan masyarakat Maluku.  Bahasa ini diklasifikasikan sebagai bahasa daerah yang memiliki kemiripan dengan bahasa Austronesia, Malayo-Polynesia, Maluku Tengah, Seram, Nunusaku, dan Amalumute.

Namun dengan semakin banyaknya penggunaan bahasa Indonesia di wilayah tersebut, penggunaan bahasa Loun semakin ditinggalkan dan dilupakan. Pada akhirnya tidak digunakan lagi.



7. MOKSELA
Bahasa Moksela merupakan bahasa daerah yang digunakan masyarakat Maluku Tengah di masa lalu. Bahasa yang diyakini merupakan bagian dari bahasa Malayo-Polynesia ini sudah dipastikan punah setelah orang terakhir - dan satu-satunya - yang menggunakan bahasa ini meninggal dunia pada tahun 1974. Kepastian ini diperoleh setelah diketahui bahasa ini tidak diturunkan dan diajarkan kepada orang lain.



8. NAKA'ELA
Bahasa ini merupakan bahasa daerah masyarakat yang tinggal di pegunungan Kepulangan Seram, Maluku.

Bahasa yang memiliki kemiripan leksikal dengan bahasa Lisabata-Nuniali, Hulung, dan Alune ini merupakan salah satu bahasa tertua di Maluku. Penggunaan bahasa daerah ini menurun drastis seiring dengan banyaknya penduduk pegunungan yang pindah ke desa dan kota. Karena menggunakan bahasa setempat, maka perlahan-lahan bahasa ini pun ditinggalkan masyakaratnya.


9. NILA
Bahasa Nila merupakan satu-satunya bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk Pulau Nila, Maluku. Berdasarkan catatan Sensus Penduduk, hingga tahun 1989, jumlah penduduk Pulau Nila adalah 1,800 orang. Namun pada tahun 1990, masyarakat Nila direlokasi dari pulau tersebut ke wilayah terdekat (Pulau Seram dan Ambon) akibat sering terjadinya aktivitas vulkanik di pulau tersebut yang membahayakan masyarakat. Akibat relokasi tersebut, masyarakatnya berasimilasi dengan masyarakat sekitar dan menggunakan bahasa daerah setempat untuk berkomunikasi. Karena itu, lambat-laun bahasa Nila pun terlupakan dan tidak digunakan lagi.



10. TERNATENO
 Ternateno sebenarnya merupakan bahasa campuran antara Portugis dan Melayu. Bahasa ini digunakan saat penjajah Portugis datang ke Ambon. Bahasa ini dipercaya digunakan pada abad 16 hingga pertengahan abad ke-20 Masehi.

Dengan perkembangan zaman, karena banyaknya orang Maluku yang menggunakan bahasa Indonesia dan Melayu, muncullah bahasa baru bernama bahasa Ambon, yang perlahan menggeser bahasa Ternateno. Dan pada akhirnya bahasa Ternateno tidak pernah digunakan lagi.



11. BUDONG-BUDONG
Bahasa daerah ini merupakan bahasa yang digunakan masyarakat Desa Tongkou, Mamuju, Sulawesi. Bahasa ini merupakan turunan dari bahasa Austronesia dan Seko.

Sayangnya, bahasa ini hanya diajarkan secara turun-temurun dan tidak diajarkan kepada orang di luar desa tersebut. Dengan banyaknya masyarakat Desa Tongkou yang merantau - dan beradaptasi dengan bahasa daerah tempat tinggal baru mereka - perlahan-lahan bahasa ini pun mulai terlupakan.

Menurut catatan yang ada, pada tahun 1989 hanya tinggal 70 orang yang bisa berbahasa Budong-Budong. Dan tahun 2002 hanya tinggal 2 orang saja yang bisa berbahasa tersebut. Dengan demikian, sepertinya dapat dipastikan kalau saat ini bahasa tersebut telah punah karena - mungkin - sudah tidak ada lagi yang meneruskan.



12. SAPONI
Merupakan salah satu bahasa daerah Papua. Bahasa ini memiliki kemiripan dengan bahasa Rasawa, yang juga merupakan salah satu bahasa daerah Papua. Kemiripan ini terdengar dari banyaknya kosa-kata Saponi dengan Rasawa. Meski demikian, tidak ditemukan adanya relasi antara kedua bahasa daerah tersebut.

Dilihat dari akar bahasa ini, Saponi juga memiliki kemiripan dengan bahasa Tutelo, salah satu bahasa daerah Afrika (Tutelo sendiri sudah punah dan terakhir hanya digunakan pada abad 18 oleh para budak kulit hitam di Amerika Serikat).

Bahasa Saponi diyakini telah punah pada tahun 2000 setelah tidak ditemukan lagi adanya masyarakat Papua yang mengerti dan paham dengan bahasa ini.



13. MAPIA
Bahasa daerah Mapia adalah bahasa yang secara ekslusif hanya digunakan oleh masyarakat yang tinggal di Pulau Mapia, berjarak 290 km arah utara Kota Manokwari.

Bahasa Mapia diklasifikasikan sebagai bahasa turunan dari Malayo-Polynesia, Oceanic, dan Mikronesia.

Penggunaan bahasa ini mulai berkurang setelah banyaknya masyarakat Pulau Mapia yang berimigrasi ke wilayah-wilayah di luar pulau dan ke kota. Ditambah lagi dengan banyaknya penduduk lain - mayoritas penduduk Pulau Biak - yang masuk ke pulau itu, membuat penggunaan bahasa ini perlahan-lahan berkurang, dan akhirnya punah. Saat ini masyarakat Pulau Mapia menggunakan bahasa Biak sebagai bahasa percakapan sehari-hari.



14.USKU
Bahasa daerah Usku atau Afra merupakan bahasa daerah Papua yang diyakini sebagai salah satu bahasa tertua di wilayah tersebut. Bahasa ini hanya digunakan oleh masyarakat Desa Usku yang berada di Papua. Bahasa ini merupakan bahasa tersendiri yang tidak terklasifikasikan.

Dengan semakin berkurangnya masyarakat Usku (karena banyak yang bertransmigrasi), maka hingga tahun 2007, diketahui hanya 20 orang saja yang menguasai bahasa tersebut. Dengan jumlah pengguna bahasa yang sedemikian kecil, serta tidak adanya tindakan untuk mempertahankan keberadaan bahasa ini, maka kemungkinan bahasa Usku akan punah dalam beberapa waktu mendatang.



Thursday 9 July 2015

10 Tradisi Lebaran Paling Unik di Indonesia

Lebaran tinggal hitungan hari. Beragam kesenian dan pertunjukan budaya dipersiapkan warga untuk menyambut hari kemenangan Umat Muslim ini. Dan berikut ini adalah tradisi budaya khas Indonesia yang biasanya dilakukan oleh masyarakat dalam menyambut Lebaran.

1. TRADISI PAWAI PEGONG
Ini adalah tradisi Lebaran unik yang hanya dilakukan di Jember, Jawa Timur. Pada hari ketujuh setelah Lebaran, masyarakat Jember mengadakan festival pawai Pegong (pedati khas Jember). Pegong tersebut dihias dengan cantik, kemudian diarak dari kota menuju pesisir Sungai Ulo Watu.

Setelah tiba di lokasi, masyarakat kemudian bersantap ketupat bersama.

Tradisi ini sudah merupakan tradisi turun-temurun. Hingga hari ini tradisi ini masih dipertahankan. Tidak saja bertujuan mempertahankan warisan budaya leluhur, tetapi juga untuk mempertahankan keberadaan Pegong, yang hingga hari ini sudah tersisih oleh moda transportasi modern, seperti angkot, taksi, dan ojek.



2. TRADISI MEUGANG
Di Aceh, ada tradisi unik bernama Meugang. Tradisi ini dilakukan saat Lebaran, di mana keluarga yang merayakan Lebaran di Aceh beramai-ramai menyembelih dan memasak daging sapi atau kambing, yang kemudian dibagikan kepada kaum dhuafa serta dimakan bersama keluarga.

Budaya ini masih dilakukan masyarakat perkampungan. Biasanya usai menjalani Sholat Ied, masyarakat berkumpul di halaman mesjid, kemudian melakukan tradisi ini. Tradisi Meugang tidak saja dilakukan di saat Lebaran, tetapi juga saat Idhul Adha atau Lebaran Kurban.



3. MENYULUT MERIAM KARBIT
Di Pontianak, saat malam takbiran, masyarakat mengadakan Festival Meriam Karbit yang dilakukan di Sungai Kapuas. Meriam Karbit adalah meriam yang terbuat dari bambu berbagai ukuran dan di dalamnya dimasukkan karbit. Cara menembaknya adalah dengan menyulutnya, sehingga karbit di dalam meriam pun meledak dan ledakannya keluar dari ujung bambu.

Festival ini digelar untuk mengenang Sultan Syarif Abdulrahman Alkadri, pendiri Kota Pontianak, yang punya kebiasaan mengusir kuntilanak dengan meriam.

Belakangan ini, Pemerintah Kota menjadikan festival itu sebagai kegiatan rutin yang diadakan setiap tahun. Meriam Karbit disusun dan disulut mulai dari Pelabuhan Sangie Pontianak hingga kawasan pinggiran Gang Garuda di Jalan Imam Bonjol.



4. TRADISI RONJOK SAYAK
Dikenal juga dengan tradisi Bakar Gunung Api. Tradisi ini dilakukan di Bengkulu, dan sudah merupakan tradisi yang dilakukan ratusan tahun silam. Banyak orang meyakini tradisi ini pertama kali dilakukan oleh Suku Serawai yang merupakan salah satu suku tertua dan terlama di Bengkulu.

Tradisi ini biasanya dilakukan pada Malam Takbiran. Biasanya masyarakat menyusun batok kelapa seperti tusuk satu yang menjulang ke atas, lalu membakar batok itu. Pembakaran batok kelapa ini dilakukan warga secara serempak usai melaksanakan sholat Isya.



5. TRADISI PUKUL SAPU
Salah satu tradisi yang cukup ekstrim yang dilakukan di Indonesia adalah Tradisi Pukul Sapu. Tradisi ini biasanya dilakukan warga Desa Morella dan Desa Mamala yang berlokasi di Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah.

Setiap hari ketujuh Lebaran, para warga berkumpul di halaman Mesjid Besar, kemudian mengutus para pria perwakilan masing-masing desa, untuk berkumpul di tengah lapangan. Setelah itu mereka pun saling menyabetkan lidi enau ke bagian badan lawannya. Lidi enau merupakan lidi yang sangat kuat dan tajam dan mampu merobek kulit jika tersabet ke tubuh. Tujuan Tradisi Pukul Sapu ini adalah untuk menjalin silaturahmi antar dua desa, dan memaafkan kesalahan di masa lalu.

Tradisi ini biasanya berlangsung sekitar 30 menit. Setelah semua peserta dipastikan terkena sabetan, maka "perang" pukul sapu pun selesai, dan para peserta saling berjabat tangan atau berpelukan.



6. TRADISI BATABO
Tradisi yang dilakukan warga Kampar, Kepulauan Riau, ini merupakan tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun. Bisa dikatakan tradisi ini merupakan tradisi menyambut para pemudik yang kembali ke kampung halamannya.

Biasanya, jika ada rombongan pemudik yang datang, masyarakat melakukan upacara penyambutan dan mengarak para pemudik dengan diiringi rebana, mulai dari lokasi kedatangan hingga ke desa mereka.

Malam harinya, tradisi ini dilanjutkan dengan pengajian dan lomba membaca Al-Qur'an.

Tradisi ini dilakukan sebagai wujud silaturahmi serta rasa rindu keluarga pada pemudik.



7. TRADISI LEBARAN TOPAT
Ketupat adalah salah satu makanan khas - selain gule - yang biasa disantap pada saat Lebaran. Namun Suku Sasak yang tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tidak menggunakannya untuk disantap tapi "senjata". Lho?

Ya. Seminggu sebelum Lebaran, Suku Sasak biasa melakukan tradisi yang mereka sebut Lebaran Topat. Tradisi yang biasa dilakukan di Pura Lingsar, Lombok Barat, ini melibatkan warga yang saling lembar ketupat. Warga percaya kalau mereka melempar ketupat ke warga lain, maka permohonan dan doa mereka terkabul.



8. TRADISI GREBEG SYAWAL
Tradisi Yogyakarta ini terbilang seru. Setiap tanggal 1 Syawal, pihak Keraton Yogyakarta akan menyerahkan Gunungan Lanang (Kakung) kepada warga untuk diarak ke Mesjid Gede Kraton Ngayogyakarta. Gunungan yang terbuat dari sayur-sayuran dan hasil bumi itu kemudian didoakan, lalu dibagi-bagikan kepada warga. Biasanya warga mengambil gunungan itu dengan cara berebutan.

Masyarakat percaya kalau gunungan yang sudah didoakan itu akan membawa berkah. Siapapun yang mendapatkan bagian dari gunungan itu, niscaya doanya akan terkabul.



9. TRADISI MEMBAKAR ILO SANGGARI
Ilo Sanggari adalah Lentera. Tradisi ini sebenarnya adalah tradisi kuno yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan Dompu, Nusa Tenggara Barat, sejak abad 15 Masehi. Sayangnya, tradisi ini sudah jarang dilakukan, mengingat listrik sudah masuk ke banyak desa di sana, sehingga penggunaan lentera sudah banyak ditinggalkan.

Tradisi ini biasa dilakukan tiga malam menjelang Idul Fitri. Pada waktu itu, masyarakat akan memasang lentera mengelilingi rumah mereka. Lentera yang dipasang biasanya merupakan lentera yang dibuat sendiri dengan berbagai bentuk dan warna.



10. TRADISI MAKAN NASI JAHA
Masyarakat Motoboi Besar di Sulawesi Utara mengenal tradisi Binarundak atau memasak Nasi Jaha bersama-sama. Tradisi ini biasanya dilakukan tiga hari setelah Idul Fitri. Tradisi ini masih tergolong baru, dan terinspirasi dari Tradisi Lebaran Ketupat yang biasa dilakukan di Minahasa dan Gorontalo. Pelaksanaan acaranya pun mirip dengan tradisi tersebut, hanya bedanya yang dimasak dan dimakan bukan ketupat tapi Nasi Jaha.

Nasi Jaha adalah makanan khas Sulawesi Utara. Meski namanya "nasi", tapi bahan yang digunakan adalah Beras Ketan yang dicampur santan dan jahe. Campuran itu dimasukkan ke dalam batang bambu yang dilapisi daun pisang, kemudian dibakar dengan seraut kelapa. Setelah matang, Nasi Jaha kemudian dinikmati bersama masyarakat setempat.