Thursday 6 August 2015

10 Korban yang Meninggal Tragis Akibat MOS dan OSPEK

Masa Orientasi Sekolah (MOS) dan  OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) seharusnya menjadi sebuah masa yang penting bagi para siswa baru untuk lebih mengenal sekolah barunya. Di luar negeri, aktivitas MOS selalu dilakukan dengan cara yang kreatif, mendidik, dan menarik, sehingga para siswa sangat antusias untuk mengikutinya.

Berbeda dengan Indonesia, justru MOS dan OSPEK adalah ajang perploncoan yang merendahkan harga diri para siswa baru. Para siswa dipermalukan, dihina, dicaci-maki, disuruh melakukan banyak hal yang tidak masuk akal. Bahkan tidak sedikit peserta MOS / OSPEK pada akhirnya menghembuskan nafas terakhir mereka karena tindakan itu. Mungkin para senior bisa berkelit dan mengatakan kalau aktivitas "keras" yang mereka lakukan semata-mata karena ingin mempersiapkan calon siswa menjadi siswa yang tangguh dan kuat. Tapi masalahnya, konteks aktivitas MOS adalah "memperkenalkan aktivitas dan kegiatan sekolah kepada siswa baru", bukan "mempersiapkan para siswa menjadi jagoan, calon preman, psikopat, atau bahkan pembunuh berdarah dingin.".

Para siswa baru pun tidak dipersiapkan untuk menjadi calon anggota militer atau pasukan elit yang harus punya stamina dan fisik yang prima.  Jadi buat apa mereka digenjot dengan cara militer yang serba keras? Buat apa pula harga diri mereka direndahkan seperti itu?

Berikut ini saya tampilkan 10 korban yang meninggal tragis setelah atau saat menjalani MOS dan OSPEK di sekolahnya. Artikel ini saya buat sebagai renungan bagi kita semua, masih perlukah kita mempertahankan budaya MOS / OSPEK seperti sekarang ini? Apakah kita masih butuh korban-korban lain agar pihak-pihak yang menjalankan MOS / OSPEK sadar kalau sudah bukan caranya lagi memperkenalkan sekolah dan kampus dengan cara-cara kekerasan, pelecehan, dan perendahan harga diri?

1. ROY ADITYA PERKASA 
Umurnya baru 14 tahun saat mendaftar dan mengikuti MOS di SMA 16, Surabaya. Siswa yang - merupakan anak dari pasangan Saidi dan Mulyanti dan - tinggal di Wisma Tropodo, Jalan Flamboyan AH-6 Waru, Sidoarjo tersebut tewas setelah pingsan saat mengikuti MOS di sekolahnya.

Meninggalnya Roy bermula saat dia mengikuti acara di hari terakhir MOS di sekolahnya tanggal 15 Juli 2009. Dalam acara yang berlangsung di aula tertutup tersebut, Roy tiba-tiba pingsan. Dia segera dilarikan ke Rumah Sakit Islam (yang berlokasi di Jalan Jemursari, Surabaya). Namun nyawanya tidak tertolong, dan meninggal beberapa jam setelah dirawat. Dokter menyatakan kematian Roy akibat kelelahan.

Akibat kejadian itu, Walikota Surabaya Bambang Dwi Hartono memecat Abu Jauhari, Kepala Sekolah SMA 16 Surabaya, karena dinilai lalai dalam mengawasi kegiatan MOS di sekolahnya.



2. AMANDA PUTRI LUBIS
Siswi SMP SMA Negeri 9 Tangerang Selatan ini punya banyak impian dan cita-cita yang ingin dicapainya. Sayang di usianya yang masih 16 tahun, dia harus meninggal setelah mengikuti MOS di sekolah yang akan dimasukinya.

Tidak jelas apa penyebab kematian Amanda. Namun kelihatannya Amanda mengalami tekanan psikis yang cukup hebat, karena selama mengikuti MOS, dia selalu terlihat ketakutan. Apalagi ketika di hari kedua dia luma membawa kertas identitas diri, dia semakin tampak ketakutan dan tidak berani masuk sekolah.

Dan pada hari ketiga kegiatan MOS, tanggal 12 Juli 2011, Amanda tiba-tiba pingsan tidak sadarkan diri. Dia kemudian dibawa ke Eka Hospital Bumi Serpong Damai, guna mendapatkan perawatan. Namun nyawanya tidak tertolong dan tanggal 13 Juli 2011, pukul 04.00 dini hari, Amanda menghembuskan nafas terakhirnya. Kematian Amanda diduga karena menderita gagal jantung. Anehnya, keluarga menyebutkan Amanda sama sekali tidak punya riwayat penyakit jantung. Mungkinkah kejadian ini dipicu rasa ketakutan luar biasa yang dirasakan Amanda selama mengikuti MOS?



3. MUHAMMAD NAJIB
Apa jadinya jika orang yang tidak biasa berjalan jauh, dipaksa berjalan dengan jarak tempuh yang sangat jauh? Apalagi kalau pemaksaannya menggunakan intimidasi dan ancaman yang membuat orang itu memaksa dirinya untuk melakukan "tugas" itu, meski dirinya sudah sangat kecapekan. Akibatnya bisa diduga : orang tersebut akan mengalami kecapekan yang luar biasa, yang pada akhirnya membahayakan jiwanya.

Inilah yang terjadi pada Muhammad Najib, siswa Sekolah Pelayaran Menengah Pembangunan di Jakarta. Pada tahun 2012, saat melakukan MOS, Najib dipaksa berjalan kaki sejauh lima kilometer bersama siswa lainnya. Meski sudah mengalami kelelahan yang sangat parah, mereka tetap dipaksa menyelesaikan tugas itu.

Alhasil Muhammad Najib pingsan setelah melakukan tugas itu, dan meninggal dunia.



4.  AGUNG BASTIAN GULTOM
Kejadian tragis dialami Agung Bastian Gultom, siswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP). Pada saat sedang mengikuti OSPEK di kampus, Agung dinilai melawan para kakak kelasnya. Tidak puas menghardik, para kakak kelas Agung pun merencanakan melakukan penganiayaan di luar sekolah. Biar Agung jera, dan tidak macam-macam lagi saat di kampus.

Karena itu pada tanggal 12 Mei 2008, 10 orang senior dari STIP menghadang Agung di C3 bawah Ring Jalan Marunda Makmur, Cilincing, Jakarta Utara. Tanpa banyak basa-basi, mereka pun menghajar Agung hingga terkapar di jalan dan akhirnya meninggal dunia.

Kesepuluh siswa STIP itu - yang kemudian diketahui bernama Lasmono, Anggi Dwi Wicaksono, Harry Nugraha, Anton Angiutan Rajagukguk, Maulana, Rifki, Hans Patar, I Putu Indra, Kartika Eka Paksi, dan Edityawan - akhirnya diciduk polisi tanggal 17 Juni 2008, dan menghadapi ancaman kurungan tujuh tahun penjara.



5. DIMAS DIKITA HANDOKO
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) kembali tercoreng di tahun 2014. Seorang calon siswa sekolah itu, Dimas Dikita Handoko, kembali menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh para seniornya.

Kejadiannya bermula saat OSPEK berlangsung di STIP, Dimas dianggap tidak mengenal dan menghormati seniornya. Karena itu dia "diincar" untuk diberi pelajaran oleh para senior. Maka pada tanggal 25 April 2014, Dimas dan 6 orang rekan seangkatannya mengalami penyiksaan yang dilakukan para seniornya di tempat kos salah seorang seniornya. Enam orang rekan Dimas mengalami luka serius dan berhasil ditolong. Tapi Dimas sendiri meninggal setelah pingsan akibat disiksa oleh para senior.

Akibat kejadian itu, 7 orang mahasiswa tingkat II STIP menjadi tersangka, dan menghadapi ancaman hukuman serius.



6. CLIFF MUNTU
Kasus kematian Cliff Muntu, praja IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) asal Sulawesi Utara yang terkuak tahun 2007 silam merupakan kasus OSPEK yang cukup mengundang perhatian banyak orang. Pasca pemberitaan kematian Cliff Muntu, terkuaklah kalau sebelumnya juga pernah ada beberapa calon praja yang meninggal dan mengalami penyiksaan saat mengikuti OSPEK. Kasus ini menjadi besar karena banyak alumni IPDN yang angkat bicara, membeberkan masalah yang terjadi selama OSPEK yang ditutup-tutupi pihak kampus selama bertahun-tahun.

Pada tanggal 2 April 2007, Cliff Muntu tiba-tiba pingsan pasca mengikuti pelatihan drumband. Setelah mendapatkan pertolongan pertama dan dibawa ke Rumah Sakit Al-Islam, Cliff meninggal dunia. Dari pemeriksaan dokter, ditemukan banyak bekas luka lebam yang masih baru. Bahkan yang lebih miris lagi, ditemukan bekas suntikan formalin di lengan Cliff. Kuat dugaan luka-luka itu diperoleh Cliff selama menjalani OSPEK di IPDN.

Temuan ini mendorong polisi untuk melakukan penyidikan lebih dalam. Alhasil, tujuh orang praja ditahan dan sejumlah petinggi IPTN yang diduga mengetahui dan terlibat dalam kasus kematian Cliff  diperiksa. Rektor IPDN Nyoman Sumaryadi pun langsung dinon-aktifkan dan digantikan Johannis Kaloh. Sedangkan Lexie Giroth, Dekan Managemen Ilmu Politik dan Pemerintahan IPDN, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut, setelah Sopandi, salah seorang pejabat IPDN, mengakui telah menyuntikkan formalin ke tubuh Cliff atas perintah Lexie.

Temuan yang mengejutkan itu belum berakhir. Kasus Cliff Muntu ternyata merupakan ujung gunung batu es. Ketika pihak berwajib melakukan penyidikan lebih mendalam, terkuaklah kalau banyak korban kekerasan di IPDN. Bahkan ada beberapa praja korban kekerasan yang tewas, namun kasusnya disembunyikan dan ditutup-tutupi pihak kampus. Sebut saja Wahyu Hidayat asal Jawa Barat (2003), dan Alian dari Kalimantan Barat (1993) yang tewas dan diduga sebagai korban penganiayaan orang dalam IPDN.



7. IVAN CHRISTOPHER SITUMORANG
Usianya baru 12 tahun dan baru saja diterima sebagai siswa SMP Flora, Bekasi. Tapi cita-citanya untuk meraih ilmu tinggi terpaksa harus berhenti 9 Juli 2015 silam setelah meninggal saat mengikuti OSPEK di sekolahnya.

Ivan mengikuti OSPEK di sekolahnya tangal 6 - 9 Juli 2015. Selama OSPEK, Ivan beberapa kali mengalami hukuman squat-jump karena tidak membawa beberapa barang yang disuruh Panitia Ospek. Akibat hukuman itu, Ivan melapor ke Panitia kalau kakinya sakit. Bukannya ditolong, tapi justru disuruh jalan mengitari lingkungan di luar area sekolah (diperkirakan jaraknya mencapai 4 kilometer).

Pulang dari OSPEK, Ivan mengerang kesakitan pada kakinya. Orang tua Ivan segera membawa Ivan ke rumah sakit, bahkan diperiksa Ahli Refleksi. Mereka kemudian mengetahui kalau Ivan mengalami kelelahan yang luar biasa, sehingga otot kakinya mengeras.

Beberapa waktu kemudian, tanggal 30 Juli 2015, saat di sekolah, Ivan pingsan di ruang kelasnya. Setelah dibawa ke rumah sakit, Ivan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.

Meski Kapolresta Bekasi Komisaris Besar Daniel Bolly Tifaona menyebutkan Ivan meninggal lantaran mengidap penyakit jantung dan tidak berhubungan dengan kegiatan MOS, namun dari kronomogis kejadian sebenarnya tampak jelas kalau pemicunya tidak lain adalah aktivitas berat yang dilakukan Ivan beberapa waktu sebelumnya. Seandainya saja dia tidak disuruh melakukan aktivitas  berat seperti itu, tentu jantung dan tubuhnya tidak akan bekerja terlalu keras, dan membuat jantungnya mengalami gangguan. 



8. DWIYANTO WISNU NUGROHO
Mahasiswa Jurusan Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini baru berusia 22 tahun. Pria ini tiba-tiba tidak sadarkan diri dan meninggal saat mengikuti pelantikan anggota baru mahasiswa Geodesi ITB yang diadakan di Gunung Batu, Desa Pager Wangi, Lembang, bulan Februari 2009 silam.

Dari penelusuran pihak polisi, diduga Dwiyanto mengalami kekerasan fisik selama menjalani aktivitas di Gunung Batu tersebut. Selain itu, kegiatan tersebut tidak berizin, meski diketahui oleh Ketua Prodi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB. Atas kejadian itu, polisi menetapkan 3 mahasiswa sebagai yang bertanggung jawab atas meninggalnya Dwiyanto.



9. ERPIN YULIANTORO
Siswa calon taruna Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) meninggal pada tanggal 12 Juli 2012 setelah mengikuti MOS yang diadakan di sekolahnya. Saat meninggal, anak kedua dari pasangan Mulyono dan Sundari itu baru berusia 19 tahun.

Awalnya, keluarga Erpin dikabari pihak BP2IP kalau siswa tersebut mengalami kesurupan dan keluarga diminta untuk datang ke sekolah. Tiba di sekolah, ternyata Erpin sudah meninggal. Ketika melihat tubuh anaknya terdapat luka lebam,orang tua Erpin langsung menduga kalau anaknya tewas karena dianiaya seniornya. Mereka segera melaporkan hal itu ke Polres Kota Tangerang.

Meski penyidikan masih berlangsung dan pihak sekolah membantah telah mengalami penganiayaan terhadap Erpin, tapi pihak keluarga tetap berkeyakinan kalau Erpin meninggal karena penganiayaan selama menjalani MOS.


10.ANINDYA AYU PUSPITA
Kasus memilukan terakhir akibat MOS terjadi di Yogyakarta, Bantul. Anindya Ayu Puspita (16 tahun), siswi SMK 1 Pandak, Bantul, Yogyakarta meninggal setelah menjalani MOS di sekolahnya tanggal 19 Juli 2013 silam.

Anindya meninggal setelah mendapatkan hukuman squat-jump yang diberikan Panitia MOS sekolahnya. Hukuman ini diberikan karena dia tidak mengenakan kaos T-Shirt saat melakukan kegiatan baris-berbaris. Setelah melakukan hukuman, Anindya dadakan pingsan. Meski sempat dibawa ke Ruang UKS untuk mendapatkan pertolongan pertama, tapi nyawa Anindya tetap tidak tertolong.

Kasus kematian Anindya ini mendapat perhatian Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yang segera meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, dan meminta kasus ini diselidiki hingga tuntas. Beliau juga mengharapkan agar kegiatan MOS dievaluasi dan tidak menggunakan praktik semi-militer, seperti memberlakukan hukuman fisik kepada peserta. Kalau memang penyebab kematian siswi itu adalah penerapan semi-militer, maka MOS akan dihapuskan dari semua sekolah.



Selamatkan Anak-anak kita dari aktivitas MOS yang tidak ada gunanya, merusak mentalnya, dan mengancam jiwanya. 
Anak kita bersekolah untuk mendapatkan ilmu, bukan untuk menjadi korban MOS, dan pulang tak bernyawa ....


No comments:

Post a Comment